NUNUKAN – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan, mencatat peningkatan volume sampah, dari 17 ton per hari, menjadi 20,4 ton per hari atau meningkat sekitar 20 persen.
‘’Ada dua sebab peningkatan volume sampah. Kesadaran membuang sampah pada tempatnya cukup tinggi, dan terjadinya peningkatan penduduk di Nunukan,’’ ujar Sekretaris DLH Nunukan, Freddyanto Gromiko, Selasa (5/9/2023).
Kata dia, ada sejumlah kendala yang dihadapi DLH Nunukan dalam pengelolaan sampah.
Yang pertama, adalah kurangnya tempat pembuangan sampah (TPS) di sejumlah titik yang membuat sampah berhamburan dan menebar bau tak sedap.
Dan kedua, minimnya armada pengangkut sampah yang beroperasi, termasuk nihilnya jam lembur bagi petugas kebersihan.
‘’Kita ada 13 titik pengambilan sampah, dan armada kita saat ini ada 9 unit truk. Karena peningkatan volume sampah, mereka tidak bisa mengangkut semuanya. Pertama karena jam kerja hanya 4 jam. Sementara kalau lebih 4 jam, hitungannya kerja lembur. Sedangkan kita belum ada anggaran lembur bagi para pekerja kebersihan,’’imbuhnya.
Menghadapi kondisi ini, DLH Nunukan sudah meminta anggaran untuk penambahan TPS bagi sejumlah titik pengumpulan sampah.
Juga mengimbau agar pengelolaan sampah dilakukan dari sumbernya, atau dari masing-masing rumah warga.
Warga hendaknya memilah mana sampah organik yang bisa dibuat kompos, dan mana sampah non organik yang bisa dibawa ke bank sampah untuk didaur ulang.
‘’Jadi seharusnya yang dibuang ke TPS adalah residu yang tidak bisa didaur ulang. Sosialisasi demikian yang kita galakkan, harapannya bisa meminimalisir kami dalam kekurangan pengelolaan sampah yang terjadi,’’ kata Freddy.
Pada dasarnya, Pemkab Nunukan, sudah memiliki undang-undang dalam pengelolaan sampah, yang tertuang dalam Perda Nomor 34 tahun 2019.
Perda tersebut mengatur larangan membakar sampah, termasuk sanksi atau pun denda membuang sampah sembarangan.
‘’Sayangnya, sosialisasi Perda sepertinya kurang, dan penegakan terhadap Perda juga belum ditegakkan,’’ kata dia.
Sampah laut belum terkelola
Sementara untuk sampah sampah di laut, meski DLH belum memilki angka pasti, berapa yang dihasilkan dalam sekali siklus panen rumput laut, kata dia, tapi jika melihat penambahan banyaknya pondasi rumput laut, juga penambahan pembudidaya, tentu saja penambahan limbah botol bekas, ikut meningkat.
‘’Kami belum punya angka pasti untuk sampah di laut. Dan itu menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Daerah, karena sampah di laut belum ada indikator pengelolaannya,’’ ujarnya lagi.
Merujuk data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Nunukan, tahun 2022 tercatat sampah botol bekas yang dihasilkan para pembudidaya rumput laut sekitar 25 ton sekali siklus panen.
Angka ini, tentu harus menjadi tolok ukur dan perhatian lebih bagi pemerintah untuk segera melihat kasus ini lebih serius.
Banyaknya limbah botol bekas di lautan, tentu menjadi ancaman kesehatan dan eksistensi biota laut.
Terlebih, jika melihat kondisi pesisir Nunukan, limbah botol bekas, bercampur dengan sampah sampah yang sulit terurai, menjadi pemandangan kumuh yang memprihatinkan.
Bahkan sepanjang jalur laut, kita disuguhkan dengan pemandangan banyaknya sampah botol plastik yang mengotori perairan.
‘’Dalam RPJMD selanjutnya, kita akan coba masukkan untuk indikator pengelolaan sampah laut,’’ imbuhnya.
Impor illegal botol bekas dari Malaysia
Sebenarnya, pengelolaan sampah di lautan, khususnya untuk jenis botol mineral bekas pelampung, Pemkab Nunukan, sudah memprogramkan produksi pelampung rumput laut, hasil daur ulang dari botol bekas.
Hanya saja, produk tersebut dibanderol dengan harga satuan antara Rp. 7000 sampai Rp. 8000.
Jauh lebih mahal dari botol bekas kemasan air mineral isi 1,5 liter, yang bisa dibeli Rp 1000 per botol.
Dan sejauh ini, masyarakat masih memilih harga murah ketimbang kualitas. Karena jika dibandingkan dengan pelampung, daya tahan botol mineral bekas, hanya mampu bertahan dua atau tiga kali siklus panen saja.
Sementara pelampung hasil daur ulang, bisa tahan lebih dua tahun.
‘’Masyarakat bahkan mendatangkan botol botol plastik bekas yang lebih tebal, seperti botol plastic minuman bersoda kemasan 1,5 liter dari Malaysia. Itu cukup banyak kami temukan dan ini menjadi dilema juga,’’ sesalnya.
Impor botol bekas secara tradisional, yang tentunya ilegal ini, sejatinya harus ditindak, jika merujuk aturan.
Namun, tentu saja butuh pertimbangan manusiawi dalam menerapkan aturan, agar kebijakan tidak menjadi konflik sosial dan mempersulit ekonomi masyarakat.
‘’Sebenarnya tidak boleh masuknya botol bekas. Itu kan termasuk sampah atau limbah, dan aturannya jelas, yaitu dilarang impor barang bekas,’’ kata Freddy. (Dzulviqor)