NUNUKAN, KN — Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Furqon di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, sebuah sekolah yang sering kita banggakan sebagai “ikon pendidikan perbatasan”, kini berada di ujung tanduk. Banjir yang menghantam pada 5 November 2025 merobohkan satu-satunya jembatan akses. Imbasnya, nasib 48 murid, yang 90 persen di antaranya adalah anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Malaysia, kini terancam putus sekolah.
Kerusakan infrastruktur ini tidak hanya memutus akses belajar, tetapi juga menguji komitmen Pemerintah Daerah Nunukan terhadap pendidikan di garis depan RI. Anak-anak TKI ini kini harus menghadapi pilihan sulit, bergelut dengan lumpur atau meninggalkan bangku sekolah.
Akses Pendidikan di Sebatik, Berlumpur dan Berbahaya
Jembatan utama yang ambruk membuat aparat, pemerintah, dan warga terpaksa bergotong royong membuka jalan alternatif darurat menembus perkebunan. Namun, jalan pintas itu segera menjadi kubangan berlumpur yang berbahaya begitu musim hujan turun.
“Kami harus menggulung celana demi melewati jalanan becek berlumpur menuju sekolah,” ujar Kepala MI Darul Furqon, Adnan Lolo, saat kami hubungi pada Kamis (20/11/2025). Adnan menekankan bahwa ini adalah pengorbanan yang berat. “Inilah perjuangan dan pengabdian seorang guru di perbatasan,” imbuhnya.
Namun, pengorbanan itu terlalu mahal bagi para murid.
Murid-murid yang biasa berangkat subuh untuk menuntut ilmu kini banyak yang memilih absen. Jalanan licin membuat mereka sering terjatuh. Adnan Lolo membenarkan, banyak orang tua murid mengeluh.
“Orang tua murid bertanya, sampai kapan mereka harus melewati jalanan itu? Apakah jembatan tidak akan pemerintah bangun sehingga mereka harus selamanya melewati jalanan jelek,” kata Adnan, menirukan keresahan warga.
Rayuan Guru di Kamp Sawit Terancam Sia-sia
Bagi Adnan Lolo, mendapatkan murid untuk MI Darul Furqon adalah pekerjaan yang tidak mudah. Setiap tahun ajaran baru, ia harus menyeberang dan masuk ke kamp-kamp kelapa sawit di wilayah Malaysia. Ia secara pribadi merayu orang tua TKI agar mau menyekolahkan anak-anak mereka di madrasah itu, dengan segala keterbatasan yang ada.
Upaya keras bertahun-tahun itu kini terancam sia-sia.
“Sejak jembatan ambruk, setiap hari saya menerima pesan dari orang tua murid yang mengeluh dan berniat memindahkan anaknya ke sekolah lain,” keluh Adnan. Anak-anak TKI itu kini terancam memilih bekerja membantu orang tua di kebun, alih-alih bergelut dengan lumpur menuju Darul Furqon.
Desakan DPRD dan Harapan Anggaran Urgensi
Menanggapi kondisi kritis ini, Anggota DPRD Nunukan, Andre Pratama, langsung mendesak Pemkab Nunukan melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPUPR) segera melakukan perencanaan dan perbaikan jembatan. Menurut Andre, pemerintah harus menggunakan Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) karena situasi ini tergolong sangat mendesak (urgensi).
“Tadi pagi saya sudah koordinasi dengan Kabid Bina Marga DPUPR Nunukan untuk melakukan pengecekan,” kata Andre. Ia meminta Pemkab bergerak cepat agar aktivitas belajar mengajar di MI Darul Furqon kembali normal.
Adnan Lolo menegaskan, MI Darul Furqon bukan sekadar bangunan sekolah biasa. “Sekolah ini dianggap salah satu ikon Sebatik sebab posisinya berada di tapal batas dua negara,” tegasnya.
Pemerintah Daerah Nunukan harus segera merealisasikan pembangunan jembatan permanen untuk melindungi masa depan anak-anak di perbatasan dan mengembalikan martabat “ikon” pendidikan Indonesia ini. (Dzulviqor)

