NUNUKAN – Pembina Yayasan Nunukan Hersen Justice, Hamseng, menyatakan, penerapan sistem BLUD penuh pada RSUD Nunukan, Kalimantan Utara, perlu dievaluasi.
Hal itu seiring dengan carut marutnya pengelolaan keuangan di RSUD Nunukan, yang berpotensi mengalami bangkrut, akibat menumpuknya utang.
‘’RSUD Nunukan sudah ditetapkan sebagai RS dengan BLUD Penuh. Dengan demikian, seharusnya tidak ada penghasilan lain dari aparatur disana selain dari BLUD. Faktanya, BLUD disedot habis, dan masih lagi dibiayai dan disubsidi Pemda. Artinya RSUD Nunukan tidak layak menerapkan sistem BLUD. Kami berharap ini dievaluasi,’’ ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Nunukan, beberapa waktu lalu.
Hamseng menguraikan, sampai hari ini, pengembangan SDM masih bersumber dari anggaran APBD, termasuk gaji, tunjangan, dan tunjangan khusus para aparaturnya.
Akibatnya, RSUD Nunukan, menjadi satu satunya RS dengan pola BLUD yang bangkrut di Indonesia.
Seharusnya RSUD Nunukan berkaca pada RSCM yang menerapkan pembayaran gaji berbasis kinerja, namun langsung menghasilkan keuntungan triliunan sejak manajemen dialihkan ke BLUD.
‘’RSUD Nunukan dengan kondisi saat ini, tidak memenuhi syarat sebagai rumah sakit BLUD. Tidak memenuhi persyaratan substansi dan administratif, sesuai ketentuan perundangan berlaku,’’ kata Hamseng.
Pendiri Yayasan Nunukan Hersen Justice yang mengabdikan diri menjadi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk masyarakat perbatasan RI – Malaysia ini, menyorot terjadinya laporan fiktif manajemen RSUD Nunukan kepada Dewan Pengawas BLUD.
Imbas laporan fiktif tersebut, Pemkab Nunukan dan masyarakat, mengalami ancaman krisis pelayananan kesehatan. Padahal RSUD Nunukan adalah rumah sakit rujukan satu satunya di Nunukan, yang melayani 21 Kecamatan yang ada di perbatasan Negara.
Tak hanya itu, menurutnya, tata kelola RSUD Nunukan bermasalah di segala lini. Jumlah dokter di RSUD Nunukan sudah cukup, namun RS dan Dinas Kesehatan setiap tahun mengeluarkan rekomendasi penerimaan dokter spesialis.
Belum lagi investasi Pemda Nunukan yang mengirim dokter untuk bersekolah spesialis, namun pada akhirnya mereka yang disekolahkan memilih berhenti dan pindah ke daerah lain.
‘’Ini mengakibatkan kerugian investasi besar bagi Pemda Nunukan, dan harus mendapat perhatian serius. Dan hasil evaluasi saya, sejak 2016 pengeluaran pemerintah melalui APBD ke RSUD terus meningkat. Sementara semangat pembentukan BLUD paling lama 3 tahun RS sudah survive. Kalau BLUD tidak layak, bagus dicabut saja dari pada semakin menghancurkan masyarakat,’’ tegasnya.
Fokus menyelesaikan utang
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Nunukan, Sirajuddin, mengakui semua masalah internal RSUD Nunukan yang dipaparkan Hamseng.
Sebagai salah satu Dewan Pengawas (Dewas) BLUD, ia juga cukup terkejut saat mendengar RSUD memiliki utang menumpuk, karena selama ini, manajemen RSUD selalu melaporkan kondisi keuangan yang surplus.
‘’Meski demikian peliknya masalah di RSUD, apakah harus evaluasi BLUD, atau bahkan mencabut mekanisme BLUD, kami akan bahas nanti. Kita fokus dulu menyelesaikan utang RSUD agar pelayanan bisa berjalan normal,’’ jawab Sirajuddin.
Ia juga tidak membantah, seringkali apa yang disajikan dalam RBA (Rencana Bisnis dan Anggaran) BLUD RSUD Nunukan tidak sesuai dengan perencanaan. Dan memang mekanisme BLUD, memungkinkan merubah rencana, menganut kebutuhan.
Dan kekurangan Dewas, kata Sirajuddin, tidak bisa masuk terlalu dalam pada pengelolaan BLUD yang menjadi otoritas RSUD.
Sampai kemudian mencuat pemeriksaan Inspektorat dan BPK, yang menyatakan ada tanggungan utang cukup besar dan mengagetkan Pemda Nunukan.
‘’Dan saat ini, kita sudah lakukan intervensi pasca utang RSUD direview BPK. Total uang yang kita gelontorkan nanti Rp. 30,5 miliar. Sebelumnya dari APBD murni kita alokasikan Rp. 5 miliar, dan APBD 2024 kita beri Rp 6,5 miliar dari BTT, dan sisanya Rp 19 miliar dari APBDP,’’ urainya.
‘’Kalau berjalan sesuai skema, RSUD tidak punya utang lagi di 2025 kecuali benar benar mendesak,’’ kata dia.
Berjuang mengembalikan kepercayaan
Plt Direktur RSUD Nunukan, Sabaruddin, mengatakan, tugas paling berat saat ini, adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan vendor.
Akibat tunggakan utang yang ditinggalkan manajemen lama, sejumlah vendor obat menutup rapat lubang pemesanan, sehingga sempat terjadi krisis obat obatan di RSUD.
‘’Kita terpaksa menjalin kerja sama dengan apotek jejaring. Itu dari sisi pengeluaran berkali lipat harganya dibanding obat dari vendor. Tapi itu risiko, berapapun harus kami bayar. Kita terus lakukan negosiasi dengan vendor, demi meraih percaya mereka. Kita yakinkan saat ini kondisi RSUD Nunukan sudah pulih, dan mohon beri kami, manajemen baru ini, kesempatan untuk bermitra. Dan kita berjanji menjaga kepercayaan mereka,’’ kata Sabaruddin.
Untuk mengantisipasi kebangkrutan kembali terjadi, Sabaruddin akan selalu melibatkan Dewas dalam setiap perencanaan. Mengevaluasi SDM yang tidak dibutuhkan, dan perlahan melakukan pemberhentian terhadap para tenaga honorer yang jumlahnya memang melebihi kebutuhan.
Sabaruddin juga berjanji akan menerapkan attitude dan sikap pelayan yang baik bagi masyarakat Nunukan yang merupakan daerah perbatasan Negara, tentu menjadi cerminan bangsa, sehingga sikap para Nakes dalam pelayanan, harus menunjukkan budi pekerti, juga empati terhadap pasien yang butuh pertolongan medis.
‘’Selama ini terjadi kebocoran besar, dan RS perlu penyegaran institusi. Rotasi, menjadi penting buat kami. Kami tidak lakukan spontan, tapi bertahap,’’ kata dia.
‘’RS ini milik kita bersama, harus kita jaga, apalagi satu satunya di perbatasan. Persoalan ini saya anggap bukan hanya persoalan Nunukan, tapi harga diri bangsa. Kalau pelayanan tidak bagus, image tidak bagus, warga kita kembali berobat ke Tawau, Malaysia atau ke Tarakan,’’ kata Sabar. (Dzulviqor)