NUNUKAN – Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Serawak Malaysia, nekat pulang ke Indonesia melalui pintu perbatasan darat Krayan kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, karena lamanya kebijakan lockdown otoritas setempat.
Hal ini menjadi sebuah dilema bagi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nunukan.
Pasalnya, BP2MI akan menjadi pihak paling bertanggung jawab untuk menjamin kepulangan mereka, sementara di sisi lain, masih ada ratusan PMI di Malaysia yang dikhawatirkan akan menjadikan jalur Krayan sebagai modus kepulangan ‘gratis’ mereka.
Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat pada BP2MI Nunukan, Arbain mengatakan, sepanjang 2021, ada 3 kasus dengan 20 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang nekat pulang ke kampung halaman lewat perbatasan darat RI – Malaysia, dataran tinggi Krayan, dan diduga akan terus bertambah.
‘’Data yang kita dapat dari Konsulat RI disana, saat ini masih ada lebih 200 PMI yang stranded/tertahan di Malaysia akibat lockdown, kami berharap mereka tidak nekat pulang kampung lewat Krayan,’’ujarnya, Selasa (23/2/2021).
Kekhawatiran ini menjadikan BP2MI dilematis, di satu sisi mereka harus memberikan perlindungan, namun sisi lain, akan banyak anggaran Negara yang bakal keluar jika fenomena tersebut berkelanjutan.
Apalagi, Malaysia termasuk Negara dengan sebaran wabah Covid-19 yang cukup tinggi.
Menurut Arbain, kewenangan perlindungan dan jaminan keselamatan PMI, sejak mulai bekerja sampai selesai bekerja, sudah menjadi Tugas Pokok dan Fungsi BP2MI.
Bahkan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk mengatasi persoalan PMI, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 pasal 41.
‘’Yang kita takutkan, ini menjadi modus PMI pulang kampung lewat Krayan, karena biaya kepulangan mereka sampai kampung halaman, BP2MI yang menanggung, belum lagi jika berbicara kasus Covid-19, kita dilema jadinya,’’tegasnya.
Saat ini, BP2MI Nunukan, tengah memproses pemulangan 4 PMI, masing-masing Yohanes Telly (23) asal NTT, Sukran (30) asal Lombok, Muhammad Yusri (23) dan Abdul Yuspa (27) dari Sulawesi Selatan.
Para PMI ini bekerja di Malaysia sejak 2018, dan sudah beberapa kali pulang kampung.
‘’Dari sejumlah kasus yang kami tangani, biasanya PMI masuk Malaysia awalnya menggunakan passport kerja, begitu pulang kampung, mereka kembali dengan passport pelawat, itu juga yang jadi problem kita,’’imbuhnya.
Habiskan Rp.15 juta untuk sampai Krayan
Salah satu PMI, Yohanes Telly membenarkan ucapan Arbain, ia juga terpaksa pulang kampung karena tidak tahan dengan lamanya kebijakan lockdown oleh otoritas setempat, Yohanes juga mengaku capek pekerjaannya dibayar dengan gaji murah.
Untuk menuju Krayan, Yohanes dan teman-temannya menghabiskan biaya hampir Rp.15 juta.
Pandemi Covid-19, dijadikan alasan para pemilik mobil untuk menentukan biaya angkut.
‘’Jaraknya ada mungkin sepuluh jam, kami berangkat jam 03.00 wita dari Serawak, sampai perbatasan Krayan itu sore, naik mobil dua kali, dan bayar lebih 1000 ringgit, sekitar Rp. 3,5 juta per orang, mungkin karena covid, itulah mahal,’’tuturnya.
Sampai di perbatasan, mereka harus berjalan kaki lagi sekitar 3 jam. Akhirnya mereka dipergoki Satgas Pamtas RI – Malaysia dan petugas Imigrasi.
‘’Kalau lewat Krayan sudah masuk Negara sendiri, biar dirapid test atau bagaimana, tidak masalah karena pasti dipulangkan ke kampung,’’katanya lagi.
PMI lain bernama Sukran mengatakan, Jalur Krayan diketahui dari cerita cerita teman teman mereka di perusahaan sawit, Ladang Intan, Terusan Lawas Serawak Malaysia, tempat mereka bekerja selama ini.
Sulitnya pulang melalui jalur resmi di Malaysia dengan banyaknya persaratan perjalanan di masa pandemi Covid-19, membuat mereka lebih memilih pulang melalui Krayan.
‘’Mereka juga mau pulang lewat Krayan itu, ada ratusan memang di dalam, mungkin bulan depan mereka pulang, ndak ada sudah tahan, gaji ndak sesuai dikasih majikan,’’katanya. (Dzulviqor)