NUNUKAN – Masyarakat di Tanjung Hulu, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menyatakan kesulitan mereka dalam mengakses pendidikan yang layak,terbatasnya infrastruktur di wilayah tersebut.
‘’Dari tahun 2012 sampai tahun 2023, anak anak SD Desa Tanjung Hulu, masih menyeberangi sungai pakai perahu menuju sekolah di SDN Desa Tanjung Hilir,’’ tulis Gulit, salah seorang warga di laman media sosial miliknya.
Kondisi tersebut, sudah terjadi selama 11 tahun karena Desa Tanjung Hulu tidak memiliki gedung sekolah.
Situsasi memprihatinkan semakin terasa saat banjir melanda, sebab orang tua murid tidak mengizinkan anaknya bersekolah di musim hujan, mereka khawatir anak anak mereka celaka akibat terjangan banjir.
Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memindahkan anak mereka bersekolah di desa Mansalong.
Namun cara tersebut, terkendala dengan regulasi, jika mereka bersekolah di Mansalong, gedung sekolah di SDN Tanjung Hilir, akan kekurangan jumlah murid.
‘’Sejak bulan 6 tahun 2022, saat anak anak selesai sekolah PAUD, sudah tidak diterima lagi mendaftar sekolah di SDN Mansalong, karena takut SDN Tanjung Hilir tidak ada murid. Harapan kami sebagai masyarakat Desa Tanjung hulu, pihak pemerintah dapat menyelesaikan masalah seperti ini’’ kata Gulit.
Dihubungi terkait gambaran tersebut, Kepala Desa Mansalong Induk, Pangiran Edi, menuturkan, Desa Tanjung Hulu, memang merupakan salah satu wilayah pelosok yang terisolir.
Sebelumnya, Tanjung Hulu, masuk dalam kelompok desa Intin, satu kelompok dengan desa Tanjung Hilir, dan Desa Sumalumung, di wilayah administrasi Kecamatan Lumbis.
Karena areal Desa Tanjung Hulu kerap longsor dan selalu tergerus banjir, warga desa sepakat menyeberang, dan membangun sebuah desa yang terletak satu daratan yang dengan ibu kota Kecamatan Lumbis.
Imbasnya, gedung sekolah terpisah jauh, dan harus ditempuh dengan perahu. Potensi keamanan menjadi keresahan, terlebih, sungai di wilayah ini, berarus deras, dan membahayakan nyawa.
‘’Sekolah SD itu adanya di Tanjung Hilir yang ditempuh dengan menyeberangi sungai lumayan luas. Desa Tanjung Hulu ini kan pindah demi keamanan karena wilayahnya selalu longsor. Karena pindah, fasilitas gedung sekolah, tentu tidak ada,’’ jelas Edi.
Edi mengakui, menempuh jalur sungai dengan kapal kayu, terlebih di musim penghujan dimana air sungai meluap dengan arus kuat, sama saja dengan mempertaruhkan nyawa sia-sia.
‘’Saya pun kalau tinggal di Desa Tanjung Hulu juga takut seperti mereka. Arus banjir itu demikian kuatnya, biar kapal besi, hanyut juga itu kalau pas banjir. Wajar mereka melarang anaknya sekolah demi keselamatan,’’ imbuhnya.
Kondisi tersebut, memang butuh pemikiran matang. Jumlah anak anak sekolah di Desa Tanjung Hulu hanya sekitar puluhan anak.
Untuk membangun gedung sekolah, tentu ada standarisasi jumlah anak, dan aturan mengikat lainnya.
‘’Pada intinya, masyarakat kami menceritakan ada kondisi yang miris dan butuh perhatian. Keadaan sudah terjadi lama dan solusi atas masalah itu bagaimana. Itu sebenarnya yang ingin disampaikan masyarakat ke pemerintah,’’ kata Edi. (Dzulviqor)