NUNUKAN – Seorang bayi suspek pertusis berusia 3 bulan, asal Desa Patal, Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, meninggal dunia, diduga akibat terlambat mendapat perawatan medis.
“Kondisinya seharusnya sudah harus ada penanganan medis. Tapi lokasinya sangat jauh dan tidak ada Puskesmas dengan peralatan memadai. Bayinya dilarikan ke Pustu sebelum akhirnya ditujuk ke rumah sakit Malinau,’’ ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat (Kesmas), Dinas Kesehatan Nunukan, Sabaruddin, Jumat (16/6/2023).
Sebelum dinyatakan meninggal dunia, bayi malang itu mengalami demam dan sering batuk. Suhu tubuhnya yang panas, dianggap demam biasa, sehingga orang tuanya masih belum menyadari gawatnya kondisi si bocah.
Umumnya, jelas Sabaruddin, batuk ini akan muncul dalam waktu 7 – 21 hari setelah bakteri masuk dan menginfeksi saluran pernafasan.
Dalam kasus ini, si bayi baru dibawa ke Pustu, setelah obat biasa yang dikonsumsinya tidak meredakan kondisinya.
‘’Sayangnya ada indikasi penyakit berat yang membuat pihak Pustu menganjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit Malinau karena jaraknya lebih dekat dari pada rumah sakit Nunukan,’’ lanjut Sabar.
Di rumah sakit, demam bayi tak kunjung turun, batuknya semakin sering dan menjadi batuk rejan.
Batuk inilah yang diduga membuat si bayi akhirnya kesulitan untuk bernafas. Suara rejan, dapat membuat penderitanya kekurangan oksigen di dalam darah, atau luka pada tulang rusuk, akibat batuk yang begitu keras.
Dari diagnosa dokter, si bayi diduga mengidap pertusi. Dokter kemudian mengambil sample untuk penelitian laboratorium dan menetapkan status bayi sebagai suspek pertusi.
‘’Sample kemudian dikirim ke Balitbangkes Surabaya. Meski hasil sample belum keluar, Dinkes Nunukan segera menurunkan tim medis, dan menggandeng pihak desa, Polisi dan Babinsa setempat, untuk tracking dan mencegah potensi penularan,’’ kata Sabaruddin.
Menurut Sabar, virus pertusis menjadi salah satu wabah yang mudah dan sangat cepat menular.
Usia rentan yang sangat berpotensi terkena pertusi, adalah balita dan manula, meski ada juga beberapa kasus terjadi pada usia produktif.
‘’Sejauh ini, belum ada laporan terjadi penularan di tempat tinggal bayi tersebut. Kita juga sudah melakukan tracking ke desa lain yang sebelumnya dikunjungi bayi dan orang tuanya. Belum ada temuan kasus baru,’’ tegasnya.
Sabaruddin melanjutkan, kasus pertusis ini, menjadi kasus pertama di Nunukan. Laporan terakhir yang tercatat di Dinkes Nunukan adalah pada 20 tahun lalu.
‘’Secara data, kasus pertusis terakhir yang dilaporkan adalah 20 tahun lalu. Tapi kita masih melakukan pendalaman dan pencegahan. Kita sosialisasi terkait pertusis di masyarakat, semoga kasus kematian si bayi, menjadi kasus yang terakhir,’’ harap Sabaruddin. (Dzulviqor)