Site icon Kabar Nunukan

Angga, dari Gerobak Pentol hingga Prajurit Marinir

NUNUKAN, KN – Di balik seragam gagah Marinir, ada cerita keringat dan aroma pentol rebus. Itulah kisah Angga Khoirul Anam, seorang pemuda yang harus berjualan pentol demi membayar ongkos dan behel gigi, sebelum akhirnya ia berhasil dilantik sebagai prajurit Marinir TNI AL.

​Kisah ini bermula di Nunukan, Kalimantan Utara. Angga Khoirul Anam (20), pemuda dari Kampung Sendang Asri, Lampung Tengah, memilih meninggalkan kampung halamannya untuk mengejar mimpi. Ia pindah bersama keluarganya, dan mereka menumpang di rumah Sutriono, pamannya yang seorang prajurit TNI AL.

​Bagi banyak anak muda seusianya, pindah ke daerah baru merupakan tantangan. Namun, bagi Angga, kepindahan ini adalah pintu gerbang menuju cita-citanya menjadi prajurit TNI AL. Sejak kecil, ia tak pernah goyah dari impian itu. Tinggal di lingkungan asrama TNI AL memberinya kesempatan langka untuk melihat dan merasakan langsung kehidupan seorang prajurit.

​Jatuh Bangun Bersama Gerobak Pentol

​Tekad Angga bukan isapan jempol belaka. Saat bersekolah di SMAN 2 Nunukan Selatan, ia punya ritual unik setiap pulang sekolah ia berlari sejauh tiga kilometer menuju rumah. Angga memasukkan seragamnya ke dalam tas, lalu menggantinya dengan napas yang terengah dan keringat yang membasahi dahi. Ia melakukan ini untuk menempa fisik agar prima.

​Setelah berlatih, ia langsung beralih peran. Angga membantu pamannya berjualan pentol rebus. Di pinggir jalan, di bawah terik matahari Nunukan, ia melayani pembeli satu per satu. Angga tidak menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk foya-foya. Sebaliknya, setiap rupiah ia simpan untuk satu tujuan, membiayai pendaftaran dan segala keperluan seleksi prajurit.

​Akan tetapi, jalan menuju seragam TNI AL ternyata tidak mulus. Angga sempat gagal dua kali. Pada tes pertama, ia gagal di bagian kesehatan. Tim penguji menyatakan giginya terlalu renggang. Tanpa banyak mengeluh, Angga menabung dari hasil jual pentol untuk memasang kawat gigi seharga Rp 3 juta.

​Sayangnya, pada percobaan kedua, ia kembali menelan pil pahit. Angga gagal dalam tes psikologi.

​”Saat ia jatuh, saya selalu ingatkan bahwa prajurit harus memiliki mental pantang menyerah. Seorang prajurit harus membuktikan kemampuan dan tekadnya,” kata Sutriono, pamannya.

​Menggenggam Baret Kehormatan

​Angga menanggung sendiri semua biaya transportasi ke Tarakan dan Surabaya, hingga keperluan pribadi lainnya. Ini adalah bukti kemandirian dan semangatnya. Ia membuktikan tidak ada yang bisa menghentikan tekadnya.

​Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Angga resmi menjadi prajurit dan mengikuti pembaretan Marinir di Surabaya.

​Momen itu seharusnya menjadi puncak kebahagiaan sempurna. Namun, di tengah lautan prajurit yang didampingi keluarga lengkap, hanya ibunya yang bisa hadir. Biaya menjadi alasan mengapa ayah dan saudara-saudaranya tak bisa menyaksikan momen bersejarah itu.

​Meski demikian, tidak ada raut kesedihan di wajahnya. Angga kini sadar, ia bukan lagi milik keluarga semata, tetapi sudah menjadi milik Negara. Seorang prajurit tidak punya tempat untuk cengeng. Ia harus selalu siap menyambut panggilan Ibu Pertiwi kapan pun dibutuhkan.

​”Saya akan terus berusaha, sampai kesempatan menjadi TNI AL habis,” kutipan itu selalu terngiang di benak Sutriono. Kini, Angga telah membuktikannya. Di saat banyak anak muda memikirkan gengsi, Angga mengajarkan bahwa kita bisa meraih impian dengan keringat, kerja keras, dan baret kehormatan. (Dzulviqor)

Exit mobile version