NUNUKAN – Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara Nomor 5 tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Pasar, sempat nganggur pasca diundangkan.
Hal ini kemudian menjadi sorotan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan.
Mereka mempertanyakan adanya retribusi nganggur, padahal retribusi memiliki potensi besar menambah Pemasukan Asli Daerah (PAD).
‘’Pemerintah Daerah itu dituntut untuk mencari sumber pemasukan supaya ekonomi bisa stabil, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Kenapa bisa ada Perda retribusi yang jelas-jelas menyumbang PAD, malah dibiarkan?’’ ujar salah satu anggota DPRD Nunukan, Adama, Selasa (9/3/2021).
Ketua fraksi PKS di DPRD Nunukan ini menyayangkan ‘keteledoran’ pemerintah, yang menurutnya sudah mengabaikan salah satu sumber pemasukan daerah.
Adama semakin lantang mempertanyakan maksud ‘penelantaran’ Perda Nomor 5 Tahun 2013.
Karena dari hasil monitoring di lapangan, ia menemukan pasar sentral Nunukan, kondisinya cukup memprihatinkan.
Kondisi atap pasar bocor karena sudah berkarat termakan cuaca, sebagian besar tiang penyanggah juga rentan ambruk, karena lama tidak pernah mendapatkan perhatian.
Selain itu, ada 10 bangunan MCK umum yang sudah bertahun-tahun tidak difungsikan karena tersumbat.
‘’Pasar ini sejak 2011 tidak tersentuh pembangunan. Logikanya, kalau ada penarikan retribusi, ada perhatian pemerintah. Ini pasar induk loh, semua pedagang mengambil sayuran dan sembako dari sini, kok kondisinya begini? malu kita’’ katanya.
Perda retribusi pelayanan pasar sempat ditolak .
Menjawab sorotan anggota DPRD Nunukan, Kepala Dinas Perdagangan Nunukan, Ir.Dian Kusumanto tidak membantah Perda dimaksud nganggur hampir 8 tahun lamanya.
Ada banyak alasan mengapa Perda yang diundangkan tahun 2013 ini, seakan terbiar.
‘’Banyak masyarakat menolak, itu menjadi salah satu alasan mengapa Perda retribusi pelayanan pasar, belum terealisasi,’’ujarnya.
Dalam menerapkan Perda di tengah masyarakat, Pemerintah Daerah tidak boleh saklek.
Butuh adanya sosialisasi dan pendekatan intensif, agar potensi kerusuhan tidak terjadi.
Selain itu, lanjut Dian, implementasi aturan tidak melulu tentang hukum dan pertimbangan tekhnis saja.
‘’Tapi ada juga pertimbangan politis, ini mohon difahami. Ketika aturan menimbulkan gejolak sosial, lebih baik memberikan pemahaman mengapa ada penarikan retribusi terlebih dahulu, dari pada berbenturan dengan masyarakat’’ imbuhnya.
Terkait sikap Pemda yang dianggap tidak memperhatikan kondisi pasar sentral yang rusak parah, Dian beralasan hal itu karena lahan pasar sentral adalah aset BUMN (PT. Inhutani).
‘’Pemerintah tidak bisa melakukan pembangunan semacam rehab besar-besaran, paling hanya perbaikan dengan mata anggaran dibawah Rp10 juta saja. Kita masih berusaha melobi PT.Inhutani untuk menghibahkan lahannya’’ jawabnya.
Rp 100,- yang menjadi pertanyaan.
Tarif retribusi pelayanan pasar di awal tahun 2021, ditentukan sebesar Rp900.
Namun dalam pelaksanaannya, pedagang membayar retribusi sejumlah Rp1000.
Nominal tersebut kemudian menjadi pertanyaan masyarakat. Kemana keuntungan Rp.100 tersebut, dan diapakan uangnya?
‘’Terus terang itu jadi pertanyaan kami juga sebenarnya, kenapa tidak dibulatkan Rp.1000 saja sekalian. Kita tahu di Nunukan tidak ada uang koin, dan masalah uang itu sensitif. Jadi ngakalinnya, tidak setiap hari kita menarik retribusi, ada hari bonus sebagai pengganti Rp100 itu,’’jelasnya.
Diberlakukan pasca menjadi temuan BPK
Dian Kusumanto mengakui, penarikan retribusi pelayanan pasar, baru berjalan sekitar 4 bulan. Tidak semua pedagang mau dan sadar untuk membayar retribusi.
Hal ini juga menjadi simalakama untuk Dinas Perdagangan, apalagi, Perda nganggur tersebut, menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2020.
‘’Jadi sampai saat ini masyarakat agak sulit menerima itu. Kita juga mau tidak mau harus pungut itu retribusi. Memang rasanya tidak enak membebankan retribusi saat pandemi, saat dagangan sepi. Tapi karena BPK menjadikan itu temuan, kenapa ada Perda tapi nganggur? ya sudah, kita jalankan,’’katanya.
Ada 9 pasar di Kabupaten Nunukan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Sementara ini, 9 pasar dimaksud baru menyumbang PAD Nunukan sebesar Rp7 juta sebulan.
‘’Perlahan kita mulai, kita harapkan kesadaran mereka dulu. Kalau sudah terbiasa, tentu PAD nya tidak lagi segitu,’’kata Dian. (Dzulviqor)